Daftar isi
Kampung Adat Cireundeu termasuk salah satu kampung di Jawa Barat yang masih mempertahankan adat budayanya hingga sekarang. Tetap menjaga kearifan lokal yang telah diwariskan turun temurun.
Kampung Adat Cireundeu memiliki luas sekitar luas 64 hektar dan terbagi menjadi 2 bagian. Untuk pemukiman menempati area sekitar 4 hektar dan yang 60 hektar untuk pertanian.
Salah satu keunikan dan daya tarik utama di sini adalah masyarakatnya, secara turun temurun, masih konsisten meyakini dan menjalankan ajaran kepercayaannya.
Baca juga:
* Pesona Camping Ground Kampung Ulin di Cisarua Bogor
Lokasi Kampung Adat Cireundeu
Cireundeu berada di sebuah lembah yang diapit Gunung Cimenteng, Gunung Gajahlangu, dan Gunung Kunci.
Masuk wilayah Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.
dari Taman Alun-alun Cimahi, kampung ini berjarak sekitar 8,2 kilometer. Anda bisa tiba di lokasi dalam waktu sekitar 30 menit.
Tiba di Jalan Kerkof, cari saja Jalan Saptadaya dekat Stikes Budi Luhur. Memasuki Jalan Saptadaya, tujuanmu tinggal berjarak sekitar 1,4 kilometer lagi.
Sejarah Cireundeu
Tahu pohon rendeu? Dari nama pohon ini lah nama kampung adat ini berasal. Dari namanya Anda sudah bisa menebak kalau di sini ada banyak pohon tersebut.
Masyarakat kampung sering menggunakannya untuk obat herbal. Ada khasiat dan manfaat dari pohon ini.
Dulunya tempat ini dikenal sebagai tempat pembuangan sampah warga. Sebelum dikenal sebagai kampung adat sejak tahun 2007.
Perangkat lokal di level RT dan RW yang mengelola Kampung Adat Cireundeu.
Cireundeu, secara adat budaya tradisional, memiliki orang yang ‘dituakan’. Dia disebut Sesepuh. Sesepuh di Cireundeu saat ini sudah mencapai generasi ke-5.
Keunikan dan Daya Tarik Kampung Adat Cireundeu
Lalu apa saja keunikan dan daya tarik dari kampung ini?
Berikut ini beberapa hal yang perlu Anda ketahui.
Kepercayaan Warga Kampung Cireundeu
Warga di kampung ini sampai detik ini masih mempertahankan dan meyakini kepercayaan Sunda Wiwitan.
Untuk Anda ketahui, Sunda Wiwitan ini tersebar di daerah Cigugur-Kuningan-Cirebon. Sebagian besar, sama seperti di Cireundue, masih berpegangteguh pada keyakinan ini sedari dulu.
Mereka menganggap keyakinan mereka ini adalah sebuah agama besar. Isi dari arajan mereka adalah peduli akan sopan santun dan alam.
Agama adalah sebuah ageman (pegangan), ini pandangan mereka terhadap agamanya. Menjadi pegangan hidup dan keselamatan. Tidak bisa lepas dari pemaknaan budaya.
Seseorang itu menjalankan dan meangrtikan budaya yang melekat pada keyakinannya. Begitulah cara mereka memandang agama.
Tuhan disebut sebagai “Gusti Sikang Sakang Sawiji Wiji”. Bisa diartikan sebagai di atas segalanya pencipta mereka.
“Mulih Kajati Mulang Ka Asal”, setiap manusia akan kembali kepada Tuhan.
Rasi sebagai Makanan Utama
Ada lagi yang unik dari budaya setempat, yaitu masyarakatnya tidak menganggap nasi sebagai makanan poko. Mereka mengonsumsi singkong, yang disebut rasi, sebagai makanan utama sejak tahun 1918.
Rasi adalah hasil singkong yang telah diolah terlebih dahulu sebelum dikonsumsi.
Dan jika tidak ada ‘Rasi’, mereka akan makan jagungg sebagai pengganti makanan pokok.
Hebatnya lagi, desa mereka dikenal sebagai desa yang swasembada pangan. Warga kampung mengonsumsi apa yang mereka tanam.
Fluktuasi harga beras di pasar tidak akan memengaruhi warga kampung ini. Gejolak sosial ekonomi juga tidak memengaruhi kehidupan di sini.
“Teu Boga Sawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat.”
“Tidak Punya Sawah Asal Punya Beras, Tidak Punya Beras Asal Dapat Menanak Nasi, Tidak Punya Nasi Asal Makan, Tidak Makan Asal Kuat.”
Kalimat tersebut seolah merangkum sejarah bagaimana masyarakat memakan rasi. Berdasar tradisi nenek moyang yang masih mereka jaga, mereka rutin berpuasa untuk konsumsi beras dalam waktu tertentu.
Puasa yang mereka lakukan bertujuan untuk mendapatkan kemerdekaan lahir batin. Ritual yang memiliki fungsi menguji keimanan. Serta untuk mengingatkan mereka akan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa.
Puncak Salam
Warga juga memercayai dan melakukan meditasi sebagai bentuk rasa syukur terhadap alam. Lokasi meditasi mereka adalah Puncak salam.
Bermeditasi di Puncak Salam, bagi warga, bisa mengumpulkan energi dari alam.
Puncak Salam sendiri adalah bukit setinggi 905 mdpl. Bukit ini sering menjadi lokasi gamping around oleh wisatawan.
Masyarakat Cireundeu juga menjadikan Puncak Salam, selain untuk meditasi, untuk lokasi peringatan hari kemerdekaan Indonesia.
Pintu Samping Rumah Menghadap Timur
Saat berkunjung, Anda akan melihat semua rumah di kampung memiliki pintu samping yang menghadap timur. Semua rumah tidak terkecuali.
Ini menjadi keharusan bagi seluruh rumah yang didirikan di kampung Cireundeu. Memiliki maksud agar cahaya matahari masuk ke rumah, ke bumi mereka.
Semangat Gotong Royong dan Hidup Berdampingan
Dan Anda pelu mengetahui bahwa Islam juga menjadi agama yang dipeluk oleh mayoritas warga. Berbaur dengan masyarakat adat, semuanya memiliki semangat bergotongroyong.
Kampung adat ini sudah sering kali didatangi wisatawan. Baik yang sekadar berwisata maupun yang ingin melakukan penelitian. Atau ada juga karena menghadiri acara adat dan acara-acara lain.
Masyarakat adatnya tersebar di 3 RT. Terdiri dari 67 keluarga dengan 59 kepala keluarga.
Anda bisa menyaksikan bagaimana masjdi dan bale sarasehan didirkan berdampingan. Bale merupakan tempat pertemuan masyarakat adat.
Anda akan dibuat terkagum-kagum dengan suasana rukun dan harmomis di sini. Mereka bsia hidup berdampingan dengan semangat gotong royong yang begitu tinggi.
Hutan di Cireundeu
Saat tiba di sini, Anda bisa melihat adanya hutan. Atau masyarakat lokal menyebutnya dengan istilah leweung.
Perlu dicatat, Hutan di Kampung Cireundeu adalah hutan yang menyumbang oksigen terbesar di Kota Cimahi.
Ada 3 (tiga) leweung di Cireundeu. Yaitu Leweung Baladahan, Leweung Larangan, dan Leweung Tutupan.
Leweung Baladahan adalah hutan dengan hasil kebun berupa singkong, kacang-kacangan, dan lainnya.
Leweung Tutupan terdiri dari berbagai tanaman herbal yang ditanam. Di sini terdapat pohon rendeu, mahoni, toga, dan babadotan.
Sesuai namanya, Leweung Larangan adalah hutan dilarang dikunjungi oleh wisatawan. Warga kampung adat memercayai dan menjaga nilai-nilai sakral dari hutan larangan.
Kesenian Kampung Adat Cireundeu
ada beberapa kesenian yang bisa Anda saksikan saat berkunjung. Antaa lain; kesenian angklung buncis, gondang, dan karinding.
Kesenian ini tersajikan saat ada upacara adat.
Baca juga:
* Chevilly Resort and Camp di Ciawi Bogor, Keren Lho!
Kesimpulan
Kalau Anda tertarik dengan wisata budaya, kampung adat ini bisa menjadi destinasi menarik.
Bisa menyaksikan dan memahami berbagai budaya lama yang masih dijalankan dalam kehidupan sehari-hari
Anda bisa berinteraksi dan bercengkerama dengan warga untuk lebih mengenal berbagai kearifan lokal yang berlaku.
Bagaimana menurutmu Kampung Adat Cireundeu di Kota Cimahi ini yang melestraikan budaya nenek moyang mereka?
quia soluta aut quia amet cupiditate numquam at molestiae sequi quia recusandae soluta recusandae voluptatem doloribus quis distinctio. dignissimos ex at corporis cupiditate est recusandae unde saepe quis. dolorem et omnis quam quidem labore ipsam qui explicabo ratione ipsam. cumque minima aut beatae est eius minus dicta voluptas voluptatem ea excepturi sint.