Pasang ri Kajang, Nilai Luhur Desa Adat Ammatoa di Bulukumba

Share this article:
Foto Desa Adat Ammatoa - Kawasan Adat Kajang Ammatoa - Tanah Toa Kajang Bulukumba Sulawesi Selatan - Tyo 2
(Foto: Tyo/GoogleMap)

Pasang ri Kajang menjadi pegangan dan pedoman masyarakat di Kawasan Adat Kajang Ammatoa, Desa Ammatoa di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Desa adat ini memiliki keunikan tersendiri dan menarik untuk dikunjungi.

Pasang ri Kajang di Kawasan Adat Kajang Ammatoa berisikan nilai-nilai luhur yang akhirnya menjadi kearifan lokal yang lestari. Masyarakat desa masih memegang erat budayanya tersebut secara turun temurun dari dulu hingga sekarang.

Jika berkunjung, Anda bisa berinteraksi dan berdiksui. Belajar langsung bagaimana masyarakatnya hidup harmonis dan selaras dengan lingkungan serta leluhurnya.

Baca juga:
* 7 Keunikan Kampung Adat Cireundeu di Kota Cimahi

Masyarakat di desa ini sangat memercayai kalau tanah di desa mereka adalah tanah tertua di dunia.

Dan banyak hal unik lain yang bisa Anda temukan di sini. Ingin tahu lebih jelasnya? Yuk, simak terus informasinya.

Lokasi Desa / Kawasan Adat Kajang Ammatoa

Kawasan Adat Kajang Ammatoa berada di arah Utara ibukota Kabupaten Bulukumba, Kota Ujung Bulu.

Berjarak sekitar 41 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam berkendara. Rutenya; Jalan Poros Bira Bulukumba – Jalan Poros Sumalaya – Jalan Poros Teteaka – Tanah Toa.

Sedangkan dari Kota Makassar berjarak sekitar 192 kilometer, via Ujung Bulu. Anda akan membutuhkan waktu tempuh sekitar 4,5 – 5 jam berkendara.

Saat Avonturin coba cari rutenya, Google Map memberikan 3 pilihan. Namun rute tercepat yang dianjurkan adalah lewat Ujung Bulu.

Alamat:
Desa Tanah Toa, Kecamatan Kajang,
Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan

Apa itu Ammatoa?

Lalu apa sebenarnya arti dan asal usul kata ‘Ammatoa’ itu sendiri?

Kata tersebut, secara etimologi, berasal dari 2 kata. ‘Amma’ yang berarti bapak dan ‘Toa’ yang berarti tua.

Pengertiannya bukan hanya sekadar bapak yang usianya sudah tua. Memiliki makna seseorang yang dituakan karena bijak, baik perilakuknya, dan luas pengetahuannya.

Kata Ammatoa ini mulai dikenal sejak kedatangan ‘Tomanurung’. Tomanurung adalah asal mulanya masyarakat Sulawesi Selatan. Ammatoa saat ini adalah Ammatoa ke-22. Ammatoa pertama bernama ‘Datuk Moyang’.

Komunitas Adat Kajang menganggap Ammatoa sebagai pemimpin adat tertinggi. Masa jabatannya hingga akhir hayatnya. Pengangkatannya pun bukan dari hasil proses pemilihan dan warisan orang tua.

Masyarakat meyakini dan memahami bahwa Turiek Akrakna (Tuhan Yang Maha Kuasa) lah yang menunjuk Ammatoa. Proses ritual dilakukan di dalam hutan Tombolo, hutan keramat desa.

Syarat sebagai Ammatoa adalah orang yang jujur, menjaga diri dari perbuatan jahat, tidak pernah menyakiti.

Serta tidak merusak alam dan selalu mendekatkan diri pada Turiek Akrakna (Tuhan Yang Maha Kuasa).

Daya Tarik Kawasan Adat Kajang Ammatoa

Foto Desa Adat Ammatoa - Kawasan Adat Kajang Ammatoa - Tanah Toa Kajang Bulukumba Sulawesi Selatan - Alfian Rosadi Sakir
(Foto: Alfian Rosadi Sakir/GoogleMap)

Lalu apa saja daya tarik yang membuat tempat ini harus Anda kunjungi?

Ayo kita teruskan membacanya.

1. Pasang ri Kajang

Apa yang mendasari warga desa ini hingga begitu menjaga perilaku dan alam di sekitarnya?

Ternyata mereka hingga saat ini menganggap sakral berbagai amanat yang terkandung dalam ‘Pasang ri Kajang’. Sekilas mirip dengan ajaran agama, namun masyarakat menganggap lebih luas lagi.

Masyarakat di sini memiliki kepercayaan Patuntung. Dan ajaran Patuntung ini adalah bagian yang melekat dari Pasang ri Kajang.

Masyarakat sangat percaya kalau mereka wajib menerapkan nilai-nilai yang diajarkan dalam Pasang. Karena jika tidak akan ada dampak buruk bagi kehidupan seluruh warga.

Dampak buruk itu bisa berupa rusaknya keseimbangan ekologi dan sistem sosial yang rusak.

Dalam ajaran Pasang, mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Ada aspek religi, sosial, budaya, mata pencaharian, lingkungan, sampai soal kepemimpinan.

Bahkan terjadinya bumi, yang berlandaskan mitologi masyarakat Ammatoa, juga dituturkan dalam Pasang.

Jadi initinya, Pasang mengajarkan manusia untuk berbuat baik dan jujur serta hidup dengan sederhana.

2. Kata-kata Bijak dalam Pasang ri Kajang

Berikut ini kumpulan kata-kata bijaksana yang terkandung dalam Pasang.

Patuntung manuntungi, Manuntungi kalambusanna na kamase-maseanna, Lambusu’, Gattang, Sa’bara nappiso’na,

Artinya :

Manusia yang telah menghayati dan melaksanakan apa yang dituntutnya dikawasan adat (Ammatoa), yakni yang menuntut kejujuran, kesabaran, ketegasan, kebersahajaan dan kepasrahan dalam hidupnya.

Angnganre na rie’, care-care na rie, Pammalli juku na rie’, tan koko na galung rie, Balla situju-tuju.

Artinya :

Hidup yang cukup itu adalah bila makanan ada, pakaian ada, pembeli lauk ada, sawah dan ladang ada dan rumah yang sederhana saja,

Punna nitabbangngi kayua, Nipappirangngangngi angngurangi bosi, Appatanre’tumbusu, napau turiolowa.

Artinya :

Kalau kayu ditebang, akan mengurangi hujan dan menghilangkan sumber mata air.

Anjo borongna iya kontaki bosiya, Nasaba konre mae anre’ pangairang, iyaminjo borongnga selaku pangairang, nasaba iya nakabattui bosi.

Artinya :

Hutan adalah yang mengontak hujan, sebab disini tidak ada pengairan, maka hutan lah yang berfungsi sebagai pengairan, karena hutanlah yang menyebabkan turunnya hujan.

3. Hutan sebagai Tana Toa

Foto Desa Adat Ammatoa - Kawasan Adat Kajang Ammatoa - Tanah Toa Kajang Bulukumba Sulawesi Selatan - ade embas
(Foto: ade embas/GoogleMap)

Masyarakat Adat Ammatoa mengelompokkan hutan menjad i2 (dua) bagian. Yaitu rabbang seppang (batas sempit) dan rabbang laura (batas luas).

Rabbang seppang merupakan kawasan adat Ammatoa yang terdapat hutan adat di dalamnya. Hutan ini tidak boleh dirusak atau diganggu. Sementara rabbang laura adalah area yang boleh digunakan untuk penghidupan.

Luas hutan di kawasan adat Ammatoa adalah 110 hektar. Masyarakat menyebut area ini dengan nama Ilalang Embaya. Sedangkan area di luar kawasan adat diberi nama Ipantarang Embaya.

Dalam konsepsi Patuntung, masyarakat memercai bahwa hutan adat Ammatoa adalah lokasi turunnya manusia pertama (Tau-Manurung) di muka bumi. Ini lah yang diistilahkan sebagai Tana Toa atau tanah tua.

Masyarakat begitu mempercayai bahwa Tana Toa juga adalah tempat naiknya Tau-Manurung ke langit untuk mencapai kehidupan bersama Tuhan (Tau Rie’ A’ra’na).

Sehingga masyarakat Ammatoa percaya bahwa, merawat hutan adalah bagian dari hukum adat di sini. Mereka menganggap, hutan merupakan sebuah tangga naik-turunnya arwah manusia dari bumi ke langit.

Dengan tujuan sebagai penghubung antara alam gaib dengan alam nyata. Oleh karena itu, Desa Adat Ammatoa mewajibkan warga memelihara ragam makhluk yang ada di hutan.

Agar membuat hutan menjadi terpelihara dan terjaga kelestariannya. Serta memberi nama ‘Turie A’ra’na (Tuhan)’.

Jika ada yang merusak hutan (ammanraki borong), akan mendapat sanksi yang paling berat. Akan dikeluarkan dan tidak boleh kermbali ke wilayah Desa Adat Ammatoa.

Tidak hanya bagi pelaku, tetapi juga seluruh keluarganya.

Terdapat empat larangan yang ada kaitannya dengan hutan. Pertama, dilarang menebang kayu (tabbana kayu), dilarang meretas rotan (tatta uhe). Dilarang membakar sarang lebah (tunu bani), dan dilarang mengambil ikan dan udang (rao doang).

Ketika menebang pohon, masyarakat tidak boleh menyeretnya tetapi harus dipotong dan dibelah. Bagi yang melanggar akan mendapat sanksi berat, sedang, ringan.

Sanksi berat denda sekitar Rp 12 juta ditambah kain kafan 12 meter. Sanksi sedang sekitar Rp 8 juta dan sanksi ringan Rp 4-6 juta.

Bagaimana jika pelaku tidak mengakui?

Untuk pelaku yang tidak mengaku dan tidak ada sanksi. Hanya sumpah pocong, 2×7 turunan tidak selamat. Bagi mereka tidak mengaku tetapi ada sanksi akan memegang linggis sudah dibakar oleh ketua adat.

Bagi mereka yang tidak salah akan selamat tanpa memegang linggis yang panas itu. Sedangkan untuk pelaku yang lari, ketua adat akan membakar dupa yang asapnya untuk mencari pelaku.

Dalam hukum adat Ammatoa tertulis:

“Olo’-olo’jintu akkulle ammanraki tinananga siagang boronga. Jari puna lanupanraki injo boronga kittemintu nikua olo-olo’a.”

(Hanya binatang yang dapat merusak tanaman atau hutan. Jadi kalau anda merusaknya, anda termasuk golongan binatang).

4. Suku Kajang Ammatoa Hidup Berdampingan dengan Alam

Pasang ri Kajang - Foto Desa Adat Ammatoa - Kawasan Adat Kajang Ammatoa - Tanah Toa Kajang Bulukumba Sulawesi Selatan - Alfian Rosadi Sakir
(Foto: Alfian Rosadi Sakir/GoogleMap)

Masyarakat yang tinggal di sini sangat menolak sesuatu yang berhubungan dengan teknologi. Karena menurutnya, sesuatu yang berhubungan dengan teknologi akan merusak alam.

Masyarakat di sini sangat jauh dengan kehidupan modernisasi, misalnya tidak memakai listrik maupun telepon seluler. Hidup mereka selalu bergantung pada hasil kebun dan sawah.

Masyarakat sekitar juga tidak memakai sandal sebab mereka menganggap dibuat dari teknologi. Mereka akan menolak sesuatu yang berhubungan dengan teknologi.

5. Bentuk Rumah Suku Kajang Ammatoa yang Sama

Sobat Genpi akan dibuat bingung, karena bentuk rumah yang sama. Dari mulai atap, dinding bangunan, ditambah dengan desaign rumahnya.

Rumah adat ini berbentuk seperti rumah panggung dan menghadap ke arah Barat. Sebab, masyarakat percaya hal tersebut akan membawa keberkahan di dalamnya.

Rumah Ammatoa hanya tersedia ruang besar dan kamar-kamar. Di bagian depan, tersedia dapur karena sangat menghormati tamu.

Atap yang digunakan disebut Anjong yang artinya warisan dari kerajaan Gowa. Di bagian pekarangan rumah, mereka memelihara hewan seperti ayam, kuda, dan sapi.

6. Makna Warna Hitam Bagi Suku Kajang Ammatoa

Foto Desa Adat Ammatoa - Kawasan Adat Kajang Ammatoa - Tanah Toa Kajang Bulukumba Sulawesi Selatan - @linddrp
Seluruh pengunjung harus mengenakan pakaian warna hitam saat berkunjung memasuki kawasan adat Ammatoa Kajang. (Foto: IG @linddrp)

Masyarakat juga selalu menggunakan pakaian yang berwarna hitam. Sebab, warna hitam selalu diartikan sebagai kekuatan dan kesamaan dalam segala hal.

Masyarakat sekitar juga menjadikan warna hitam sebagai warna yang sakral. Ketika memasuki desa ini, pakaian harus serba hitam. Menurut masyarakat warna hitam lebih baik dibanding warna lainnya.

Kesimpulan

Sekarang Anda sudah tahu bagaimana masyarakat Kawasan Adat Kajang Ammatoa begitu memegang teguh budaya dan adatnya.

Mereka terbukti bisa hidup harmonis dan selaras dengan lingkungan. Bahkan sangat selektif dengan berbagai budaya luar. Termasuk dengan benda-benda hasil teknologi terkini.

Baca juga:
* Ilomata River Camp TNBNW, Wisata Seru di Bone Bolango

Mereka mengganggu hal-hal tersebut bisa mengganggu hubungan mereka dengan lingkungan dan alam.

Sebuah rangkain kearifan lokal menarik yang tak akan habis Anda dengar dan pelajari dalam satu hari kunjungan.

Sudah ada rencana berkunjung ke Kawasan Adat Kajang Ammatoa di Desa Tanah Toa, Kajang,
Bulukumba, Sulawesi Selatan?

Share this article:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow Kami:

Scan untuk Follow:

avonturin_nametag 2